Kontradiksi Membangun Ketahanan Pangan di Indonesia


Oleh: Risman A. M. Djen

Beberapa tahun belakangan Indonesia kerap dibanjiri dengan kasus konflik agraria, meskipun bukan kasus yang baru didengar, namun tren konflik agraria selalu meningkat tiap tahunnya, melalui catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bahwa pada tahun 2022 telah terjadi 212 kasus konflik agraria, hal tersebut cenderung meningkat dari angka pada tahun 2021 yang diketahui sebesar 207 kasus. Maraknya kasus konflik agraria ini tentu sangat bersinggungan dengan problem ketahanan pangan di Indonesia.

Dalam sebuah wawancara, Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan Republik Indonesia (Menhan RI) pernah mengatakan bahwa ada tiga hal yang akan dialami dunia di masa depan, yakni krisis energi, krisis pangan, dan krisis air bersih.

Dalam percakapan itu Menhan RI mengatakan bahwa kecenderungan terhadap semakin terbatasnya persediaan energy, pangan, dan air bersih akan memicu hadirnya ancaman dari negara-negara lain terhadap Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.

Tulisan ini akan membahas bagaimana proyeksi ketahanan pangan di Indonesia ditengah gempuran investasi asing maupun lokal yang telah mengakumulasi ekspansi lahan di Indonesia. 

Problem semacam ini tentu merupakan problem yang amat penting, hal tersebut dikarenakan Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris kini menjadi salah satu pengimpor beras yang cenderung bergantung soal pangan pada negara-negara asia lainnya yakni Thailand dan Vietnam.

Padahal berdasarkan laporan dari United States Department of Agriculture (USDA) yang dipublikasikan oleh (Databoks 2022) mengatakan bahwa di antara 10 negara produsen beras terbesar dunia, Indonesia menduduki peringkat nomor 4 dengan angka mencapai 35,4 juta metrik ton, angka ini tentu jauh tertinggal dengan Tiongkok yang berada di peringkat pertama dengan angka presentase mencapai 148,99 juta metrik ton. 

Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa jumlah produksi yang besar dari Tiongkok ini sebanding dengan jumlah populasi manusianya, namun yang perlu digaris bawahi disini adalah produksi padi yang masif di Tiongkok itu tidak terlepas dari budaya pertanian yang sangat kuat, meskipun saat ini Tiongkok sedang giat-giatnya melakukan industrialisasi massal, namun sektor pertanian tidak dilupakan dari perhatian pemerintah.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1945 juga menunjukan hal yang sama, kali ini Indonesia juga menduduki peringkat ke 5 sebagai negara penghasil Singkong terbesar di dunia dengan angka presentase sebesar 18,3 juta singkong pada 2020. Namun angka tersebut juga jelas masih jauh jika dibandingkan dengan Nigeria yang menduduki peringkat pertama dengan angka presentase sebesar 60 juta ton pada 2020.

Sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia, Indonesia masih diperhadapkan pada masalah impor beras yang cenderung tinggi. Hal tersebut karena beberapa program terkait strategi pencapaian produksi tanaman pangan belum maksimal dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. 

Salah satu program strategi pencapaian produksi pangan di Indonesia adalah pengembangan tanaman pangan dengan memperluas lahan pertanian, hal demikian dilakukan dengan mencetak lahan baru (sawah), optimalisasi lahan dengan meningkatkan indeks tanaman, optimalisasi lahan pertanian bagi pangan lainnya, serta optimalisasi lahan terlantar. 

Menurut sebuah penelitian dari (Arifin et al. 2021). Mengatakan bahwa meningkatnya jumlah populasi manusia di Indonesia juga merupakan salah satu penyebab dari munculnya ketergantungan Indonesia terhadap pangan yang dilahirkan di negara luar. 

Fakta seperti ini juga seperti yang pernah terjadi di Eropa sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh (Fink 2019) yang mengatakan setelah kaum feodal yang berpikiran moderen bekerja sama dengan kaum pemodal untuk meruntuhkan kekuasaan raja karena tidak sepakat dengan pajak yang mahal, maka kekuasaan cenderung berpindah tangan menjadi milik kaum feodal moderen yang memiliki modal lahan yang luas serta kaum pemodal yang memiliki alat produksi. kekuasaan yang dikendalikan oleh kaum tuan tanah dan pemodal ini secara bersamaan menghadirkan ledakan jumlah populasi manusia yang tak terbendung di Eropa, namun yang menjadi masalah adalah ketika ledakan penduduk tersebut secara bersamaan juga diperhadapkan pada fakta bahwa terdapat sedikit jumlah lahan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. 

Maka untuk mengatasi hal ini negara-negara Eropa lalu mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pencaplokan terhadap negara-negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan Eropa dan menstabilkan ekonomi negara-negara Eropa, sistem ini dinamakan sebagai Markantilisme.

Dalam penelitian lain yang ditulis oleh (Usdianto and Setiyowati 2023) dijelaskan bahwa kondisi dasar harga beras di Indonesia yang terlampau lebih mahal dari harga beras di negara lain merupakan faktor pendorong munculnya inisiatif dari pelaku pasar di Indonesia untuk mengimpor beras dari luar negeri dengan memanfaatkan selisih harga yang besar.

Hal demikian tentu mengganggu keseimbangan produksi beras di Indonesia. Harga pangan menjadi persoalan penting yang terus disuarakan saat ini, beberapa negara-negara maju seperti Eropa dan AS yang terus memberikan subsidi pertanian cenderung memunculkan masalah baru yakni hadirnya pangan yang murah dalam pasar pangan internasional hal demikian akan berdampak menyengsarakan petani miskin di negara-negara lain.

Selain tentang meningkatnya jumlah populasi dan harga pangan, faktor yang menyebabkan tingginya impor pangan di Indonesia juga disebabkan karena keterbatasan persediaan lahan pertanian akibat dari akumulasi modal yang semakin besar oleh para investor. 

Hal ini pernah diungkapkan oleh (McMahon 2017) bahwa secara keseluruhan negara-negara yang kurang berkembang yang pernah mampu menghasilkan kelebihan bahan pangan sampai pada tahun 1981, kini justru mengimpor bahan pangan yang jauh lebih besar. 

Hal demikian karena ketergantungan yang coba dikonstruksi oleh negara maju seperti AS dan para pakar ekonomi Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation, WTO) yang pada dasawarsa 1980 dan 1990an memaksa negara-negara miskin menghapuskan bea impor dan subsidi pertanian mereka sebagai upaya untuk menciptakan pasar bebas dunia. 

Sebelumnya melalui penelitian dari (Budiman 1987) yang bertajuk ‘Jalan Demokratis Ke Sosialisme: Pengalaman Chili Dibawah Allende’ dijelaskan bahwa salah satu penyebab krisis pangan di Chili dikarenakan prioritas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Chili cenderung berpusat pada industri perkotaan dibanding pada industri pedesaan. Industri pedesaan yang dimaksud adalah pengembangan industri pada sektor pangan. 

Fakta seperti ini telah ditemukan di Indonesia, dimana pengembangan industri yang tidak berbasis pada pangan cenderung memicu arus urbanisasi yang begitu tinggi pada daerah-daerah industri perkotaan, akhirnya aktivitas pertanian mulai ditinggalkan, tanah yang dulunya dipakai sebagai sumber garapan petani malah diakumulasi secara besar-besaran oleh pemodal yang menjadikannya sebagai hak milik pribadi.

Hal yang paling menyedihkan dari akumulasi modal melalui kepemilikan tanah adalah rusaknya rantai pasok makanan kita sebagaimana yang dikatakan oleh Noer Fauzi Rachman, pengajar Enveromental Politics of Agriculture Spiring 2011 di Colorado Cellege, USA. 

Dalam pengantar buku yang ditulis (McMahon 2017) bahwa hanya sebagian kecil saja dari kita, manusia Indonesia, yang sumber makanannya langsung dari pekarangan, kebun, danau, sungai atau laut, dikampung sendiri. Sementara sebagian besar dari kita, terutama yang hidup di kota-kota, membeli makanan yang berasal dari pembelian di pasar. 

Ketergantungan terhadap pasar cenderung memicu kekhawatiran tersendiri dimana peningkatan harga bisa saja terjadi jika ketersediaan barang sudah tak berbanding dengan jumlah permintaan.

Dalam kasus di atas dapat dilihat bahwa problem mendasarnya adalah soal kepemilikan lahan yang cenderung tidak berkeadilan. 

Indonesia sendiri di masa awal terbentuknya memiliki cita-cita untuk mendistribusikan keadilan sosial kepada seluruh rakyat Indonesia. Hal demikian termaktub dalam pasal 33 ayat (3) undang-undang dasar 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 

Hal tersebut dipertegas melalui hadirnya Undang-Undang Pokok Agraria yang mulai disahkan pada 24 september 1960, undang-undang tersebut dibentuk dengan semangat Landreform yang disisipi dengan semangat berkeadilan. 

Namun setelah beberapa tahun berjalan, sejak runtuhnya orde lama yang digantikan oleh orde baru, semangat undang-undang pokok agraria mulai ditinggalkan dan digantikan dengan revolusi hijau yang cenderung juga meningkatkan produksi pangan namun kekayaan mulai terkonsentrasikan pada tangan para oligarki atau konglomerat.

Untuk menangani ketimpangan pada akses pangan, China di masa kepemimpinan Mao Zedong pernah melalukan langkah untuk mendistribusikan kepemilikan lahan kembali kepada rakyatnya, pemerintah China sebelumnya pernah mengintegrasikan lahan-lahan pertanian menjadi lahan kolektif dan juga mengorganisir petani dalam kelompok komune. 

Namun kebijakan demikian telah mengakibatkan bencana kelaparan yang luar biasa sehingga menewaskan sekitar 30 sampai 40 juta jiwa, hal tersebut diketahui merupakan problem dimana implementasi kebijakan ditingkat bawah tidak begitu efektif dan akuntabel dalam menjalankan kebijakan. Melalui bencana kelaparan tersebutlah China kemudian merubah arah kebijakannya untuk memberi lahan-lahan pertanian kembali kepada rakyatnya dan memperbolehkan rakyat China untuk menabung dari hasil sisa panen mereka. 

Selain itu kebijakan yang paling krusial juga adalah dimana China mulai membangun saluran perairan, jalan raya, pergudangan besar, dan beberapa fasilitas untuk menunjang adanya revolusi hijau, akhirnya melalui arah kebijakan semacam itu gelombang kewirausahaan pertanian tumbuh besar dan berhasil membebaskan 200 juta penduduk pedesaan di China keluar dari kemiskinan. 

Melalui fakta yang terjadi di China dapat disimpulkan bahwa dalam konteks proses pembagian kepemilikan tanah harusnya mengacu pada konsepsi yang terbuka dan berkeadilan. Jhon Locke dalam filsafat sosialnya menganggap bahwa setiap manusia dibatasi oleh hukum alamiah yang melekat pada dirinya. 

Hukum alamiah yang dimaksud oleh Locke ini adalah sebuah keterbatasan manusia yang terbentuk secara alamiah. Sehingga melalui keterbatasan itu Locke menganggap bahwa dalam mengaktualisasikan kebebasannya manusia atau individu wajib untuk tidak mengganggu kebebasan orang lain.

Selain itu, Locke juga menganggap bahwa alam memiliki eksistensi secara fungsional, namun dalam memanfaatkan alam manusia tidak boleh mengambil lebih dari yang bisa dimanfaatkan atau dibutuhkan. 

Hal tersebutlah yang mendasari prinsip keadilan menurut Locke dimana manusia masih tetap memiliki hak atas pemanfaatan lahan untuk kebutuhan hidupnya namun pemanfaatan alam yang berlebihan atau diluar kemampuan seorang individu secara alamiah adalah sebuah kesalahan. 

Melalui konsepsi dari Locke kita dapat melihat bahwa negara harusnya memberikan sebuah penghargaan atas hak alamiah yang dimiliki oleh manusia.

Kita banyak melihat bagaimana pengakuan terhadap hak alamiah begitu sukar ditemui di Indonesia. Sebagaimana pada beberapa konflik agraria yang terjadi Indonesia contohnya di Desa Olak Olak, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat (Barenschot et al. 2023). 

Kasus pencaplokan lahan yang memicu munculnya konflik agraria sesungguhnya menjadi gambaran utuh terhadap ancaman masa depan ketahanan pangan di Indonesia. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epistemologi Kebinnekaan dalam prespektif NDP

Polarisasi Politik dan Pergeseran Fungsi Pelembagaan Nilai di Maluku Utara