Epistemologi Kebinnekaan dalam prespektif NDP
Oleh: Risman A.M Djen
Persoalan Disintegrasi Bangsa selalu menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan dalam Negara yang mengikrarkan diri sebagai Negara kesatuan. Belakangan persoalan yang timbul adalah kesiagaan Negara terhadap benih Radikalisme yang merupakan Akar terorisme yang ada di Indonesia.
Bukan hanya itu, pertentangan antar umat yang berbeda dalam pandangan politik serta saling menuduh atas kesesatan adalah persoalan yang lain yang dihadapi oleh Indonesia sendiri. Pasalnya beberapa dari kita lebih mengutamakan sikap fanatic dari pada sikap terbuka terhadap gagasan yang dipertentangkan untuk mencapai mufakat.
Hal ini lebih diperparah dengan kejadian terror (Bom bunuh diri) pada 2018 lalu yang mengakibatkan sejumlah golongan masyarakat saling bersikap sinis dan ragu terhadap golongan yang lainnya. Sikap seperti ini menggambarkan munculnya beberapa gejala disintegrasi yang berdampak buruk kedepannya. Hal ini membutuhkan kerja keras oleh seluruh lapisan masyarakat untuk membangun kesadaran mengenai pentingnya merawat Kebinekaan hingga lahirlah tulisan ini yang saya beri judul “Epistemologi Kebbinekaan dalam Prespektif NDP”.
Mengenal NDP HMI
NDP (Nilai-nilai Dasar Perjuangan) Adalah panduan ideologis bagi setiap Kader HMI, NDP juga dikenal sebagai doktrin perjuangan maupun filsafat sosial kader HMI yang dipakai untuk menganalisis masalah yang terjadi di bangsa ini. Jika ingin diuraikan NDP ini adalah hasil perenungan atas refleksi pengalaman seorang tokoh bangsa ini yakni Nurcholis Madjid atas perjalanannya ke Timur Tengah yang mencoba mengkristalisasikan 103 ayat dan 2 buah Hadis.
Maka tak heran bila NDP menjadi sebuah analisa objektif dan upaya aktualisasi nilai Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. maka sudah sepantasnya sebagai kader HMI saya mencoba menawarkan sebuah kecenderungan upaya dalam merawat keberagaman menurut tafsiran saya tentang Teks NDP.
Epistimologi Kebinnekaan
Kebinnekaan ataupun keragaman yang kita pahami adalah hasil dari pembentukan paradigma yang berawal dari konsepsi epistemology yang disusun secara teratur. Pasalnya hal demikian merupakan usaha dalam meminimalisir kecenderungan pembenaran secara subjektif apalagi sampai bersifat fanatis.
Perbedaan landasan epistemology telah menuai banyak perdebatan yang sampai saat ini masih segar untuk diperdebatkan. Sebuah kecenderungan terhadap penggunaan instrumen pengetahuan tertentu hingga meyisihkan yang lainnya adalah persoalan yang penting.
Perdebatan ini marak tejadi pada Era Modern setelah dari masa dimana otoritas agama di eropa menjadi prioritas utama sehingga menyingkirkan pentingnya peran pengetahuan.
Klaim kebenaran dalam setiap keyakinan telah menjadi hal yang lumrah di Era Moderen, di mana pergulatan ini telah dimulai sejak timbulnya Renaisains di Eropa, pergulatan demikin memasuki pada tahapan pergulatan Mazhab Epistemologi yakni Rasionalisme dan Empirisisme.
Perdebatan yang timbul ialah konsepsi yang lebih mengunggulkan indra atas pengalaman yang disebut Empirisme yang tidak memerlukan sebuah peran akal dalam memilah kebenaran, dan ada juga yang menggunakan meyakini bahwa instrument Rasio atau akalah yang mempunyai kewenangan dalam penentuan kebenaran. Hal ini sangat beragam dari dalil yang dilontarkan. Hingga datanglah Henri Bergson (1859-1941) yang menggagas peran intrumen intuisi sebagain satu- satunya instrument yang mampu menangkap kebenaran realitas (Akhyar Y Lubis 2016).
Hal demikian tentunya melahirkan prespektif yang cenderung subjektif terhadap masing-masing pendirian yang saling mengutamakan ego dalam ukuran kebenaran tertentu, hingga munculah Imanuel Kant yang menggagas penggabungan antara dua mazhab epistemology tersebut yakni rasio dan indra. Namun dalam sebuah sistem yang cenderung bertahap dalam menangkap realitas.
Jika kita melihat dalam perdebatan epistemology maka pertanyaannya dimana posisi islam disini? Menarik jika kita lihat dari sebuah pernyataan filsof islam yakni Murtadha Muthahhari yang mencoba untuk mensinergikan seluruh instrumen pengetahuan dalam sebuah postur kinerja tertentu dan ukuran kebenaran yang lebih bersifat Universal.
Kuntowijoyo dalam bukunya islam sebagai ilmu menekankan atas pentingnya integrasi pengetahuan yang dimulai dari mensinergikan beberapa instrumen pengetahuan. Bahwa disini sebagai umat islam kita tidak boleh merendahkan bahkan memarjinalkan variabel kebenaran ilmiah yang cenderung bersifat materi. Hal ini sering terjadi akibat anggapan yang dibangun adalah sesuatu variable kebenaran yang bersifat materil adalah bagian dari paradigm yang mengingkari keberadaan Allah SWT.
Jika aggapan atau presepsi yang dibangun sepertihal demikian, maka aktualisasi spiritual hanya berdasarkan pada hubungan secara transenden dan tidak berdampak pada sebuah perbaikan sosial. Bukankah untuk menelah relevansi tuhan sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaan kita sangat membutuhkan verifikasi indra sebagai gerbang pengetahuan? jika demikian, maka sebuah kualitas dan tingkatan setelah indra adalah bagian dari kerja akal untuk memilah maupun menggeneralisir kebenaran tertentu.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S An Nahl 16:78 “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa - apa dan dia telah memberimu pendengaran, pelihatan dan Hati agar kau bersyukur.”
Penjelasan di atas menegaskan bahwa instrument penggunaan indra juga adalah sebuah dimensi penting dalam memahami kebenaran. Namun yang menjadi persoalan adalah variabel kebenaran yang bersifat materil selalu menolak hal yang tidak bersifat materil, ungkapan seperti demikian juga patut dihargai sebagai suatu kebenaran sekalipun bersifat relative namun bisa disebut kebenaran, maka sebuah ukuran kebenaran indrawi maupun rasional dan intuisi tetap disebut sebagai “benar” dalam sudut pandang yang berbeda. Islam mencoba melihat ukuran kebenaran yang lebih bersifat universal sehingga mampu merangkum kebenaran yang lainnya.
Dalam menyusun kerangka berpikir yang cenderung mengemukakan asas kebinekaan, NDP sendiri menganjurkan kepada kita agar lebih memandang islam secara Universal, Islam dapat dilihat sebagai bentuk ketundukan manusia terhadap Tuhannya.
Maka bentuk ketundukan itulah yang mengonstruk tindakan manusia sesuai dengan nilai yang terkandung dalam keyakinannya. Dalam (QS Adz Dzaariyaat: 56) Allah berfirman; dan aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah kepadaku.
Jika kita melihat dalam tafsiran surat di atas maka ada penekanan dimana kata menyembah adalah bagian dari seruan untuk menjalankan segala perintah Allah SWT, namun jika kita juga menempatkan Allah sebagai sumber kebenaran maka kebenaran dapat mengonstruk kebaikan, oleh karena itu secara otomatis manusia ditugaskan untuk menebarkan kebaikan di tempat dimana ia berpijak.
Maka seruan seperti demikian tidak berada pada penekanan untuk menciptakan kebaikan hanya pada sesama Kaum muslim saja melainkan juga pada setiap manusia. Disitulah nilai kebinekaan akan tercipta dengan sendirinya.

Komentar
Posting Komentar