Polarisasi Politik dan Pergeseran Fungsi Pelembagaan Nilai di Maluku Utara
Oleh: Risman A. M. Djen
Fenomena politik elektoral memang menjadi isu yang hangat diperbincangkan saat ini, beberapa pertunjukan dramatis untuk memastikan skema kualisi sudah bisa kita saksikan di media televisi maupun media sosial.
Pertunjukan ini mengisahkan tentang elektabilitas maupun perolehan kursi partai sebagai syarat untuk mencapai kekuasaan. Namun, tulisan ini bukan untuk menguraikan tentang siapa, bagaimana, dan untuk apa kualisi partai itu dibangun. Tulisan ini akan mengisahkan tentang bagaimana sebuah produk politik khususnya politik elektoral akan melanggengkan sebuah ketimpangan yang terus akan dipelihara melalui pergeseran fungsi pelembagaan nilai di Maluku Utara.
Sebelum membahas lebih lanjut, saya ingin memberikan sebuah batasan terkait maksud pelembagaan nilai yang menjadi masalah utama dalam tulisan ini. Pelembagaan dalam tulisan ini bermakna sebagaimana abstraksi terhadap sebuah lembaga yang memiliki batasan atas orientasi-orientasi tertentu.
Artinya, pelembagaan memuat unsur pembatasan untuk membentuk identitas terhadap sesuatu yang ada dalam batasan tersebut. Saya ingin memberikan contoh dimana konteks pembatasan juga dapat berarti sebagai sebuah langkah untuk mendefinisikan sesuatu. Jika kita telah mendefinisikan tentang ‘motor’ berarti secara tidak langsung kita telah membatasi identitas motor melalui sifat pembeda dari alat transportasi lain.
Pembatasan terhadap identitas ‘motor’ yang diasosiasikan secara fungsi sebagai alat transportasi yang berbeda dari alat transportasi lainnya seperti memiliki roda dua, menggunakan stir sebagai alat mengemudi dll menjadikan sebuah batasan yang dapat diidentifikasi secara langsung. Sehingga jika kita menyebutkan ciri-ciri motor dengan melebelkan dengan nama alat transportasi lainnya maka hal tersebut tentu dianggap tidak benar.
Dalam konteks pelembagaan nilai ini juga dapat dilekatkan pada pemaknaan terhadap suatu masyarakat yang melembagakan nilai yang mereka percayai dalam bentuk identifikasi suku. Proses pelembagaan nilai inilah yang saya sebut sebagai embrio dari munculnya polarisasi politik di Maluku Utara.
Dalam sebuah penelitian, Zuly Qodir (2016) pernah menyimpulkan bahwa Maluku Utara mempunyai sebuah keunikan yang jarang ditemui di daerah lain, yaitu konflik elit politik yang begitu kuat.
Konflik elit bukan hal yang baru di Maluku Utara, beberapa konflik di Maluku Utara tidak terlepas dari peran elit politik yang bertarung demi kepentingannya masing-masing.
Menariknya, fenomena konflik elit tidak selalu tentang konflik segelintir orang, penelitian (Aini, 2012) tentang Domestifikasi Etnisitas: Pemekaran Wilayah dan Rutinisasi Kekerasan antar Etnis di Maluku Utara telah menjelaskan bahwa etnisitas, agama, dan solidaritas primordial terkadang menjadi alat yang dipakai oleh elit politik untuk memicu konflik atau memobilisasi dukungan. Hal seperti ini terlihat nyata, dan berlaku dalam setiap momentum pertarungan politik. Namun, sebuah kecenderungan yang negatif dari hal demikian adalah terpeliharanya ketimpangan yang dimunculkan melalui solidaritas primordial dalam konteks Maluku Utara.
Dalam konteks masalah tersebut, pertanyaan yang perlu dijawab bersama adalah apakah nilai perlu untuk dilembagakan?
Pertanyaan tersebut tentu akan memantik jawaban yang beragam, jika kita melihat nilai dari fungsi normatifnya tentu jawaban yang diberikan adalah bahwa nilai perlu untuk dilembagakan. Hal demikian berdasar pada ungkapan dimana nilai tersebut hadir dari hasil akumulasi pengetahuan yang ditangkap oleh manusia pada periodesasi tertentu sesuai dengan tantangan lingkungannya. Hal demikianlah yang menjadi pegangan dan bahkan warisan yang diberikan secara turun temurun. Namun, jika seperti itu maka pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah apakah akumulasi pengetahuan yang diyakini kebenarannya masih bisa dikonfirmasi dalam realitas lingkungannya saat ini? Jika tidak maka apakah kita akan memilih terpenjara dalam doktrin nilai yang sudah tidak terkonfirmasi kebenarannya atau bebas memilih nilai lain sejauh nilai tersebut memuat unsur yang universal?
Pertanyaaan semacam itu menjadi salah satu dari masalah pelembagaaan nilai yang kita lakukan saat ini. Masalah yang kedua dari pelembagaan nilai adalah adanya pemanfaatan pelembagaan nilai yang melenceng dengan fungsi awalnya, yaitu untuk menjadi suatu panduan terhadap proses penyelesaian masalah yang berkaitan dengan konteks lingkungan masyarakat dimana nilai tersebut dilahirkan. Pemanfaatan yang salah inilah yang saya sebut sebagai pergeseran fungsi pelembagaan nilai, dimana nilai cenderung menjadi alat untuk memobilisasi dukungan dalam konteks politik elektoral.
Sejauh ini kita dapat melihat bahwa solidaritas masyarakat yang teridentifikasi melalui pelembagaan nilai yang saya sebut suku, telah membentuk sejarah konfliknya masing-masing. Saya tidak bermaksud membuka luka masalalu, namun tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa fakta mengenai kesadaran kolektif yang memunculkan solidaritas kelompok masyarakat tertentu cenderung disebabkan karena adanya pengengkangan terhadap aspirasi atau tujuan kelompok yang lain. Hal ini seperti dijelaskan oleh Ted Robert Gurr (1970) dalam buku yang berjudul Why Men Rebel. Dalam buku tersebut dapat dilihat bahwa Gurr memberikan pendekatan psikologis untuk mengelaborasi bagaimana ketidakpuasan kolektif dimanifestasikan sebagai kekerasan politik dengan menyediakan mekanisme agresi-frustrasi. Gurr mengatakan bahwa kemarahan yang diciptakan oleh kekurangan adalah alat motivasi yang mendorong manusia untuk melakukan agresi. Dalam hal ini upaya-upaya untuk menghalangi kepentingan suatu kelompok yang disebut Gurr sebagai deprivasi relatif adalah langkah pertama menuju pada agresi yang merupakan hasil dari frustrasi di antara kelompok masyarakat.
Ketidakpuasan yang membentuk agresi seperti yang dikatakan Gurr tersebut dapat dicontohkan seperti dalam kasus konflik horizontal tahun 1999, konflik enam desa di Halmahera Barat dan Halmahera Utara, hingga konflik ibu kota Maluku Utara yang masih menyisihkan dilema pemekaran Kota Sofifi sampai saat ini. Kebijakan yang disertai pada ketergantungan atas pemanfaatan pelembagaan nilai yang diyakini suatu kelompok akan membentuk sebuah ketimpangan yang muncul akibat penegasian dalam penyerapan aspirasi. Hal tersebutlah yang menurut saya turut menyuburkan budaya politik elit dan polarisasi politik berbasiskan etnis di Maluku Utara.
Dalam hal ini, memelihara nilai sebagai basis kearifan lokal merupakan hal yang sangat penting, sejauh penyelarasan nilai tersebut tidak bersinggungan dengan kecenderungan secara fitrawi. Namun, menegasikan nilai yang lain dengan alasan telah memiliki label terhadap cara pandang tersendiri merupakan hal yang keliru.
Dalam konteks ini saya sepakat dengan contoh sederhana yang dijabarkan oleh Muthahhari salah satu tokoh Revolusi Islam Iran. Bahwa akal itu semacam cermin jika cermin tersebut bersih maka akan terlihat jelas gambar yang dipantulkan. Namun jika cermin tersebut berwarna atau kotor maka gambar yang dipantulkan akan sesuai dengan warna yang dilihat. Dalam kata lain jika akal kita tidak terikat pada lebel pelembagaan nilai maka akan semakin objektif kebenaran yang kita tangkap, namun jika akal kita telah dilekatkan pada lebel nilai tertentu maka apa yang kita lihat hanyalah bagian dari kebenaran sebagaimana lebel yang melekat pada kita.
Melalui tulisan ini saya tidak bermaksud untuk menghilangkan nilai tertentu yang melekat pada masyarakat, beberapa contoh sederhana berupa sejahteraan masyarakat akibat dari pengakuan negara terhadap kelompok atau etnis minoritas telah terbukti di Negara Slovenia seperti pada hasil penelitian dari Pentassuglia (2022), Namun masih banyak kasus terkait polarisasi dan ketimpangan yang menyebabkan konflik akibat dari pelembagaan nilai seperti ini. Contoh sederhana pada wilayah Mizoram yang terletak di India Timur Laut, bahwa masih banyak ketimpangan yang diakibatkan oleh konflik etnis dan distribusi keadilan yang tidak merata pada Suku Mizoram. Atau pada kasus yang seperti terjadi di Balochistan, salah satu provinsi di Pakistan bahwa kecenderungan politik etnisitas di daerah otonom telah membuat Balochistan terjebak pada distribusi sumber daya yang tidak merata dan kesenjangan sosial (Mushtaq & Mirza, 2022).
Oleh karena itu, sebuah upaya pelembagaan nilai harusnya menjadi basis pengetahuan yang terus dilihat secara dialektis, tidak dikonfrontasikan menjadi konspsi yang stagnan hingga menjadi dokma yang disalahgunakan untuk memobilisasi dukungan demi memperlancar kepentingan elit politik. Hal tersebut juga akan berdampak pada upaya meminimalisir pengekangan terhadap kepentingan kelompok tertentu yang berakibat pada pemeliharaan konflik di Maluku Utara.

Komentar
Posting Komentar