Memahami Tuhan dalam Kebebasan

Ilustrasi Kebebasan

Oleh : Risman A.M Djen

Jika dilihat pada judul di atas tentunya wacana ini sudah tak asing lagi bagi kalangan intelektual yang tak terhitung jumlahnya. Jika kita mendengar kalimat mahluk merdeka, tentunya hal yang paling utama diangkat adalah Manusia. Manusia di anggap merdeka karena mempunyai keistimewaan dalam sebuah potensi pengetahuan, hingga tak sedikitnya manusia yang berlomba-lomba dalam memenuhi perkembangan pengetahuan sesuai konteks zaman. Pengetahuan menjadikannya mahluk yang merasa mempunyai hak tersendiri dalam menentukan kebenaran dan menepihkan kebenaran lainnya. Hingga pengetahuan telah digeserkan pada intepretasi nilainya yang tidak lagi bermanfaat bagi manusia melainkan untuk berkuasa dan menindas yang lainnya.

Banyak anggapan dari orang yang berpengetahuan, bahwa pengetahuannya akan menuntun pada arah kebebasan yang dapat menentukan jalan hidupnya sendiri. Tanpa campur tangan dari tuhan. Mereka menilai bahwa mempunyai keyakinan terhadap Tuhan adalah sebuah ekspresi ketidak merdekaan manusia. Karna jika tuhan sendri mencampuri urusan manusia maka manusia tidak akan memperoleh kebebasan dan instrument pengetahuannya bernilai sia-sia. Namun anggapan demikian mempunyai kelemahan dalam penyusunan konsepnya. Bahwa yang perlu diingat adalah, bahwa Tuhan ialah kebebasan itu sendiri. Mengapa tuhan disebut sebagai kebebasan? Karena manusia yang menelah keberadaan Tuhan haruslah berada pada dimensi kebebasan yang tidak terpaku pada sebuah pembuktian kebenaran secara ilmiah atau materil yang menaruh porsi indra dalam menangkap ilmu pengetahuan menjadi porsi paling tinggi. Dengan demikian, konsepsi Realitas akan dilihat secara kritis dimana sejatinya yang kita sebut realistis tidak sama sekali benar, karena yang disebut realitas adalah sesuatu yang bersifat mutlak yakni Tuhan itu sendiri, sehingga mempercayai tuhan adalah upaya manusia menjemput fitrahnya sebagai manusia yang bebas.

Jika manusia adalah mahluk yang bebas, apakah ia bebas melakukan apapun yang ia inginkan sebagai ekspresi dari kebebasan dirinya? tanpa menimbang yang benar dan yang salah? Tentunya hal ini sangat tidak di benarkan. Karena Manusia sejak diciptakan di dunia ini, kerap di lekatkan pada tanggungjawab yang ia emban sebagai sumber motivasi dalam menjalankan kehidupannya di dunia. Lantas apa yang menjadi alasan manusia diciptakan dengan bekal potensi pengetahuan dan kebebasan? Penjelasan ini sudah di jelaskan dalam Qur’an tentang tujuan pencitaan manusia, dalam Al Qur’an Allah Berfirman “aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaku. (Q.S Az-Zariyat 56). Maka bisa disimpulkan bahwasannya tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah, konsep beribadah adalah tunduk hanya kepada Kebenaran. Karena sebagai kebebasan Tuhan juga sebagai kebenaran Mutlak, maka beribadah kepada tuhan adalah sikap ketundukan kepada kebenaran sebagai ikhtiar kembali pada fitrah manusia yaitu manusia yang cenderung pada kebenaran (Hanif).

Kesadaran akan nilai Tauhid inilah yang mengharuskan manusia tidak boleh di kekang oleh belenggu nafsu yang menjadkan manusia melakukan kejahatan dimuka bumi. Bila dalam landasan aksiologi manusia yang kita lihat bahwa kebenaran cenderung menentukan kebaikan maka tugas manusia sebagai mahluk merdeka seharunya membuat kebaikan dalam setiap sikap maupun tindakan yang ia ambil, karena hal demikian yang merupakan konsepsi bersukur secara substansial.

Jika kita melihat peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim yang dimana diserukan oleh tuhan lewat mimpinya untuk menyembelih Nabi Ismail, anaknya yang sangat ia cintai. Sebenarnya Nabi Ibrahim sendiri diuji keimanannya sebagai manusia. Sebab, kecintaan Nabi Ibrahim terhadap anaknya sangat tak bisa di pungkiri, Maka sang nabi harus memilih antara kebebasan, atau kungkungan egoism yang melekat padanya.  sehingga pilihan yang di tentukan oleh seorang Nabi tersebut menunjukan sikap keteguhan iman bahwa hanya Tuhanlah yang patut untuk dicintai. Hal demikian menunjukan sebuah pelajaran dari peristiwa itu adalah manusia akan Merdeka jika ia mampu membunuh egohnya dan kembali pada Tuhannya.

Konsep kesadaran inilah yang perna dialami oleh masyarakat Indonesia di saat penjajahan terjadi. Yang diaman manusia Indonesia cenderung melepaskan egohnya masing-masing dan memilih untuk bersatu. Sikap demikian tentunya adalah bentuk dari kekuatan Islam dalam membangkitkan rasa nasionalisme yang di hasilkan dari kesadaran orang Indonesia sebagai manusia yang tak bisa di kekang oleh orang atau bangsa lain.

Sehingga saya lebih sepakat jika tanggal 17 Agustus Bukanlah dinobatkan sebagai hari kemerdekaan Bangsa ini, melainkan hari dimana banyaknya manusia yang telah sadar bahwa mereka adalah mahluk – mahluk yang merdeka. Dan proses penjajahan adalah bentuk dari upaya untuk melawan sisi kemanusiaan yang harusnya menjadi misi bersama. Atas kesadaran seperti itulah yang menjadi alasan yang mengikat persatuan dan solidaritas bangsa. Karena persatuan menurut Renan harusnya mengakar dari persamaan rasa.

Maka jika saat ini menusia di kekang pada taraf kebutuhan social yang bahkan telah mejadi prioritas hingga patut di utamakan, maka sebuah kecenderungan manusia saat ini adalah pada sebuah keterikatan materil. Sebuah keterikatan materil atau menuhankan Uang adalah sifat menduakan tuhan. Melihat tragedi Nabi Ibrahim diatas adalah rela melepaskan sesuatu yang sangat dicintainya hanya karna memilih rasa cinta yang di tujukan pada tuhannya. Maka harusnya manusia saat ini tidak menaruh pengutamaannya dalam hidup yang cederung mengutamakan uang di banding tuhan.

Jika sebuah kecenderungan manusia saat ini hanya mangutamakan unsur materil yang lebih mengarah keuang dan kekayaan, maka tidak sedikit pula kekacauan yang akan ditimbulkan oleh manusia itu sendiri karena mengiginkan sebuah kekayaan dan penguasaan atas yang lain. Namun sebuah persoalan yang fundamen bukan hanya berada pada rana demikian. Sekalipun upaya yang terus dilawan oleh kalangan komunias adalah penguasaan manusia atas manusia yang di sebabkan karena kedudukan social yang di ukur dari sebuah unsure materil yang di daatkan lewat hasil eksploitasi pada manusia yang lemah. Sikap demikian bukanlah sikap yang menunjukan kebebasan yang sesungguhnya. Karena kebebasan dan kemerdekaan sesungguhnya adalah sikap yang tidak merebut kemerdekaan orang lain.

Maka sudah jelas diatas bahwa upaya menjelaskan kebebasan manusia sebagai mahluk yang merdeka adalah upaya untuk mengenal tujuan diciptakan manusia. Sebuah pernyataan yang cenderung meniadakan tuhan sesungguhnya adalah kekeliruan yang memenjarakan manusia yang cenderung malas berpikir. Karena mustahil manusia yang diberikan instrument pengetahuan khususnya akal telah meniadakan tuhan. Sebab sebuah keyakinan tidak bisa terlepas dalam diri manusia. Sekalipun pernyataan yang ia lontarkan adalah pernyataan yang cenderung meniadakan tuhan itu juga bagian dari pada apa yang kemudian ia yakini.

Maka sebagai mahluk yang merdeka kita bertugas untuk mengutamakan kebaikan didunia ini sebagai tugas dan tujuan kita dilahirkan sebagai manusia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epistemologi Kebinnekaan dalam prespektif NDP

Polarisasi Politik dan Pergeseran Fungsi Pelembagaan Nilai di Maluku Utara

Kontradiksi Membangun Ketahanan Pangan di Indonesia